SEJARAH PEGUYANGAN
Pada sekitar tahun 1690-an dimana pada waktu tersebut telah berkuasa Kyai Jambe Merik. Beliau membangun puri di Alang Badung (Suci sekarang). Pada waktu itu, kerajaan Tegeh Kori sudah berubah ke dinasti Jambe dengan kerajaannya disebut dengan Bandana Negara atau Kerajaan Badung. Pada awal berkuasanya Kyai Jambe Merik, kembali datang ke kerajaan Badung pasukan Goak dari Buleleng dibawah pimpinan Panji Sakti. Alasan dari penyerangan tersebut adalah untuk meminang putri dari warih Kyai Notor Wandira atau Kyai Bandana. Bila keinginan tersebut tidak diberikan maka kerajaan Badung akan dikuasai oleh Kerajaan Buleleng. Tentu saja permintaan tersebut ditolak oleh raja Badung. Maka terjadilah pertempuran hebat di daerah Blusung. Pertempuran yang dahsiat tersebut telah mengorbankan sangat banyak prajurit baik dari kerajaan Badung maupun dari kerajaan Buleleng. Darah yang mengalir dari tubuh prajurit yang tewas telah memenuhi daerah pertempuran bagaikan kubangan darah (pekubangan warak). Tidak ada yang menang maupun kalah dalam pertempuran tersebut. Pertempuran dahsiat tersebut diakhiri dengan pertukaran putri dari warih raja masing-masing kerajaan. Dari warih Raja Badung, yang diserahkan adalah putri dari Lanang Kemoning, setelah diperistri oleh Raja Buleleng menurunkan soroh Pedawa di Singaraja. Sedangkan dari warih Raja Buleleng, yang diserahkan adalah putri dari Ki Tamlang, setelah diperistri Raja Badung menurunkan soroh Tamlang di Titih.
Setelah beberapa lama, kata “pekubangan” berubah menjadi peguyangan.
Sumber :
1. Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan, Puri Agung Denpasar
2. A.A. Ngurah Mayun Mangku, Puri Tampak Siring, Denpasar
Penulis :
A.A. Ngurah Agung Wira Bima Wikrama, ST, M.Si, Puri Agung Denpasar