Sebelum terjadi Perang Puputan Badung, putra mahkota Kerajaan Badung bernama Ida I Gusti Alit Ngurah yang usianya menginjak 10 tahun, terlebih dahulu dilarikan oleh beberapa laskar khusus pengawal kerajaan didampingi ibunya serta beberapa keluarga dekat puri. Beliau pergi untuk diamankan ke daerah barat tepatnya di Desa Seminyak, Kuta. Pada tanggal 17 Januari 1907, Ida I Gusti Alit Ngurah ditangkap dan menjadi tawanan perang Pemerintah Hindia Belanda. Beliau diasingkan ke Mataram, Lombok oleh pemerintah Hindia Belanda.
Setelah mengalami pengasingan selama lebih kurang sepuluh tahun, pada tanggal 1 Oktober 1917, atas desakan dari para tokoh masyarakat di Lombok seperti I Gusti Putu Griya dan Ida Pedanda Ketut Kelingan, serta desakan dari masyarakat Badung, Ida I Gusti Alit Ngurah akhirnya dikembalikan oleh pemerintah Hindia Belanda ke Badung. Pengembalian Ida I Gusti Alit Ngurah ke Badung atas pertimbangan bahwa Pemerintah Hindia Belanda menganggap situasi dan kondisi di Bali sudah relatif aman dan tidak ada tanda-tanda akan terjadinya pemberontakan.
Setelah sampai di Badung, beliau ingin kembali ke Puri Agung Denpasar, namun keinginan tersebut tidak terwujud mengingat lokasi Puri Agung Denpasar sudah dijadikan rumah jabatan Afdeling Hindia Belanda untuk Bali Selatan. Setelah Republik Indonesia Merdeka, tempat tersebut berubah fungsi menjadi Rumah Jabatan Gubernur Bali sampai sekarang. Mengingat beliau tidak memiliki tempat tinggal atau puri maka untuk sementara beliau tinggal di Puri Belaluan. Beliau sempat pula pindah ke Puri Anyar Jambe Langon. Kedudukan beliau sebagai Putra Mahkota Kerajaan Badung menyebabkan beliau harus memiliki sebuah puri. Maka pada tahun 1927 beliau mendirikan puri di Jaba Pura Satria. Nama puri beliau selanjutnya ambil dari nama puri yang lama yaitu Puri Agung Denpasar.
Pada tahun 1929, setelah pembangunan Puri Agung Denpasar (di jaba Pura Satria) selesai, Ida I Gusti Alit Ngurah diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Regent Badung dengan gelar Ida Cokorda Alit Ngurah. Pemerintah Hindia Belanda mulai menerapkan sistem pemerintahan yang baru yaitu Zelfbestuur (pemerintahan swapraja) untuk dapat mempermudah mengatur daerah jajahan pada tanggal 1 Juli 1938. Sistem ini diterapkan secara serentak di seluruh daerah di Bali yang dibagi menjadi 8 landschapen, yaitu Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung, dan Karangasem. Pada setiap landschapen diangkat seorang kepala daerah dengan sebutan Zelbestuurder (Raja).
Gambar : Ida Cokorda Alit Ngurah, berdiri paling kanan.
Pemilihan kepala daerah tersebut masih dominan didasarkan atas keturunan raja atau dari keluarga raja sebelumnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka untuk Zelbestuur Badung dipegang oleh Ida I Gusti Alit Ngurah dari Puri Agung Denpasar dengan gelar Ida Cokorda Alit Ngurah. Peresmian dan pengangkatan (abhiseka) dilakukan serentak dengan 8 raja-raja lainnya di Pura Besakih, Karangasem pada tanggal 30 Juni 1938. Peresmian dan pengangkatan ini dilakukan oleh Residen L.J.J. Caron. Para penguasa swapraja-swapraja (Zelfbestuur) tersebut tergabung dalam federasi raja-raja yang disebut Paruman Agung.