Diceritakan bahwa di Kerajaan Badung berkuasa Ida Kyai Jambe Aji (Jambe Aeng). Beliau adalah Raja Kerajaan Badung ke-5 yang berstana di Puri Jambe Ksatria. Pada masa pemerintahannya beliau merencanakan proyek besar pada saat itu yaitu membangun 2 buah Bendungan (empelan) pada aliran Sungai Ayung. Bendungan yang beliau bangun berada di wilayah Mambal dan di wilayah Tonja. Bendungan Mambal difungsikan untuk mengairi persawahan di daerah bagian barat Kerajaan Badung dan Bendungan Tonja difungsikan untuk mengairi persawahan di areal bagian Timur dan Selatan Kerajaan Badung.
Bendungan (empelan) Mambal berhasil dibangun dengan baik dan dapat berfungsi seperti yang diharapkan. Sedangkan Bendungan (empelan) di Tonja selalu mengalami kegagalan atau longsor sehingga segala upaya telah dilakukan pada saat itu dan selalu gagal.
Seiring berjalannya waktu, Kyai Jambe Aji (Jambe Aeng) Wafat. Beliau digantikan oleh putranya yang bernama Kyai Jambe Ksatria yang dinobatkan sebagai Raja Badung ke-6 dengan pusat pemerintahan di Puri Jambe Ksatria. Pada masa Kyai Jambe Ksatria berkuasa, beliau terus mengupayakan melanjutkan pembangunan bendungan Tonja tersebut dengan teknologi yang ada pada saat itu. Namun usaha beliau sia-sia dan berkali-kali bendungan tersebut longsor. Sampai akhirnya terjadi peristiwa perebutan kekuasaan di Puri jambe Ksatria.
Kyai Jambe Ksatria akhirnya digantikan oleh Kyai Ngurah Made atau I Gusti Ngurah Made Pemecutan sebagai Raja Badung ke-7. Selanjutnya beliau memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Badung ke sebelah selatan dari puri Jambe Ksatria, menggunakan areal Tetamanan Puri Jambe Ksatria yang disebut dengan Tetamanan Denpasar. Di areal Tetamanan Denpasar tersebut beliau mendirikan puri yang selanjutnya disebut dengan Puri Denpasar. Puri Denpasar selanjutnya ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Badung tahun 1788 Masehi.
Pada masa pemerintahan I Gusti Ngurah Made Pemecutan sebagai Raja Kerajaan Badung ke-7 atau Raja Denpasa ke-1, beliau berusaha melanjutkan kembali pembangunan Bendungan (empelan) Tonja tersebut. Pada masa tersebut datanglah seorang Patih dari Kerajaan Kalianget (wilayah Kabupaten Buleleng sekarang). Patih tersebut adalah keturunan dari Arya Ularan dengan jabatan waktu itu sebagai Ki Patih Saunggaling.
Diceritakan perjalan Ki Patih Saunggaling sebelum sampai di Kerajaan Badung, bahwa beliau sempat mampir ke Sukasada, Bangli, dan Batuyang. Perjalanan beliau sebenarnya adalah untuk mencari wilayah agar dapat menjadi penguasa di daerah baru. Namun tidak satupun diantara penguasa Sukasada, Bangli dan Batuyang mengijinkan beliau menetap di wilayahnya. Selanjutnya di wilayah Batuyang beliau mendapat informasi agar beliau berjalan ke arah selatan dan akan menemui sebuah pohon kepuh yang besar dan tinggi. Perjalanan beliau tidak sia-sia ketika pohon yang dimaksud akhirnya ditemukan. Daerah tersebut masih berupa semak belantara dan belum ada perkampungan. Beliau dengan pengikutnya membabat dan membersihkan semak-semak serta mendirikan tempat untuk bermukim. Mengingat tempat tersebut belum memiliki nama maka Ki Patih Saunggaling menamakan tempat tersebut dengan nama Yangbatu karena perjalanan beliau terakhir adalah di Batuyang.
Setelah bermukim di tempat tersebut beberapa lama maka Ki Patih Saunggaling melaporkan tentang keberadaanya beserta pengikutnya ke Puri Denpasar. Raja Badung ke-7 atau Raja Denpasar ke-1 menerima baik kedatangan Ki Patih Saunggaling beserta pengikutnya.
Beberapa waktu kemudian Raja Denpasar melalui utasan memanggil Ki Patih Saunggaling agar datang ke Puri Denpasar. Setelah bertemu dengan Ki Patih Saunggaling, Raja Denpasar menyampaikan program kerajaan yang belum selesai yaitu membangun Bendungan (empelan) di Tonja. Ki Patih Saunggaling menerima informasi tersebut seraya ikut mencari jalan keluarnya. Ki Patih Saunggaling mencoba untuk membangun kembali bendungan tersebut, tetapi selalu gagal. Setelah beberapa kali mencaba dan gagal maka Ki Patih Saunggaling mencari penyebab runtuhnya bendungan tersebut dengan cara niskala. Maka Ki Patih Saunggaling bersemadi di tempat yang akan dibangun bendungan tersebut. Setelah beberapa lama bersemadi maka Ki Patih Saunggaling menerima wahyu bahwa bendungan tersebut bisa berhasil dibangun bila yang digunakan dasar pada bendungan tersebut adalah sepasang manusia.
Wahyu yang diterima oleh Ki Patih Saunggaling selanjutnya disampaikan kepada Raja Denpasar ke-1. Raja Denpasar tentu tidak mau mengorbankan rakyatnya untuk tujuan yang belum tentu berhasil. Raja Denpasar cukup lama mengambil keputusan sampai akhirnya Ki Patih Saunggaling meninggal di kediamannya di Yangbatu. Diceritakan bahwa Ki Patih Saunggaling memiliki seorang putra yang bernama Jro Wayan Saunggaling. Selanjutnya Jro Wayan Saunggaling menikah dengan seorang gadis dari Trah Kalanganyar.
Jro Wayan Saunggaling memiliki keterampilan adimistrasi dan sangat membantu tugas-tugas kerajaan dalam mengadministrasikan pembangunan khususnya pertanian maupun keuangan kerajaan. Mengingat kemampuan tersebut maka Jro Wayan Saunggaling diberikan tempat yang layak sebagai seorang pembesar kerajaan. Maka Raja Denpasar membangunkan Jro Wayan Saunggaling sebuah Jero yang selanjutnya disebut dengan Jero Gede Saunggaling (di daerah titih sekarang).
Jro Wayan Saunggaling terus teringat kepada pesan ayahnya sewaktu masih hidup yaitu agar segera menyelesaikan bendungan (empelan) di Tonja. Maka berdasarkan pesan tersebut dan setelah berdiskusi dengan istrinya maka Jro Wayan Saunggaling memberanikan diri menyatakan sikap untuk siap sebagai dasar dari Bendungan (empelan) Tonja. Mendengar perkataan dari Jro Wayan Saunggaling dan dengan pertimbangan untuk kemajuan Kerajaan Badung di masa depan maka Raja Denpasar mengabulkan permintaan Jro Wayan Saunggaling. Mengingat Jro Wayan Saunggaling belum memiliki putra atau keturunan, maka diangkatlah seorang putra (maperas) dari Trah Lukluk untuk meneruskan keturunan Jro Wayan Saunggaling yang selanjutnya menempati Jero Gede Saunggaling (sampai sekarang).
Hari yang sudah ditentukan pun tiba. Jro Wayan Saunggaling beserta istri meloncat ke Dasar Sungai Ayung dan tenggelam dalam pusaran arus yang sangat kuat saat itu. Setelah peristiwa tersebut maka pembangunan Bendungan Tonja terus dilanjutkan sampai tuntas tanpa ada hambatan yang berarti. Setelah bendungan (empelan) Tonja selesai dan berfungsi dengan baik maka Raja Denpasar menamakan bendungan tersebut dengan nama Bendungan (empel) Wongan karena yang dijadikan sebagai dasar dari bendungan tersebut adalah Wong atau manusia dan sebagai pengingat jasa besar Jro Wayan Saunggaling yang telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk kemakmuran Kerajaan Badung.
Selanjutnya Bendungan Wongan dimanfaatkan untuk mengairi beberapa lahan persawahan diantaranya Subak Rene (Renon), Subak Selat, Subak Sesetan, Subak Pedungan dan subak-subak lainnya yang derada di bagian timur dan selatan Kerajaan Badung.
Sampai sekarang, pelinggih Jro Wayan Saunggaling masih berada di Bendungan (empel) Wongan. Pelinggih Jro Wayan Saunggaling dibangun pula di Pura Pedarman Agung Satria Denpasar pada peleban (sisi) tengah di sebelah selatan Gedong Agung.
Demikian cerita singkat tentang keberadaan Bendungan / Dam (empelan) Wongan.
Disusun oleh :
1. Ida Pengelingsir Agung Putra Jambe Pemecutan, Puri Agung Denpasar
2. A.A. Ngurah Mayun Mangku, Puri Tampaksiring, Tampak Gangsul Denpasar.